Equityworld Futures -Tekanan jual yang signifikan menerpa pasar saham Indonesia di sepanjang tahun 2019.
Jika dihitung sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan hari Jumat (7/2/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia sudah melemah sebesar 4,76%, dari level 6.299,54 ke level 5.999,61. Faktor eksternal hingga internal melandasi aksi jual di pasar saham Tanah Air di tahun 2019. Pada awal tahun 2020, AS menembak mati petinggi pasukan militer Iran Jenderal Qassim Soleimani yang merupakan pemimpin dari Quds Force selaku satuan pasukan khusus yang dimiliki Revolutionary Guards (salah satu bagian dari pasukan bersenjata Iran). Soleimani tewas dalam serangan udara yang diluncurkan oleh AS di Baghdad. Selain itu, Abu Mahdi al-Muhandis yang merupakan wakil komandan dari Popular Mobilization Forces selaku kelompok milisi Irak yang dibekingi oleh Iran, juga meninggal dunia. Soleimani sendiri telah disanksi oleh AS sejak tahun 2007 dan pada Mei 2019, Washington memutuskan untuk melabeli Revolutionary Guards, beserta dengan seluruh bagiannya, sebagai organisasi teroris, menandai kali pertama label tersebut diberikan terhadap lembaga militer resmi dari sebuah negara. Sebagai balasan dari pembunuhan Soleimani, Iran menembakkan misil ke dua markas militer AS di Irak. Diketahui, lebih dari selusin misil balistik diluncurkan oleh Iran ke dua markas militer AS tersebut. Melansir CNBC International, setelah serangan Iran terjadi, Trump mengadakan pertemuan dengan para penasihat utamanya di Gedung Putih. Pertemuan tersebut dihadiri Wakil Presiden Mike Pence, Menteri Pertahanan Mark Esper, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, dan Jenderal Angkatan Darat Mark Milley. Dalam konferensi pers terkait dengan serangan yang diluncurkan oleh Iran, Trump mendinginkan suasana dengan membantah klaim pemerintah Iran yang mengatakan bahwa ada sebanyak 80 tentara AS yang tewas dalam serangan tersebut. Dirinya pun menyakini bahwa serangan tersebut merupakan serangan terakhir dari Iran. Trump menegaskan tidak akan menyerang balik Iran. Menurutnya, meski memiliki kekuatan militer terbaik di dunia, AS tak selamanya harus menggunakan itu. "Fakta bahwa kita memiliki militer dan peralatan terbaik tidak berarti membuat kita harus menggunakannya." Trump lantas memilih untuk menjatuhkan sanksi ekonomi baru terhadap Iran. Sanksi tersebut, disebut Trump, nantinya akan berlaku sampai Iran mengubah perilakunya, terutama soal pengembangan nuklir. Masih dari sisi eksternal, meluasnya infeksi virus Corona menjadi faktor yang menekan kinerja IHSG. Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International. Berpusat di China, kasus infeksi virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Dilansir dari halaman Johns Hopkins, hingga kini setidaknya sebanyak 28 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka. China, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Inggris, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona. Melansir CNBC International, hingga kemarin, Minggu (9/2/2020), sebanyak 908 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 40.000. Dari dalam negeri, IHSG sulit berkutik seiring dengan rilis angka pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan. Sepanjang kuartal IV-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,97% secara tahunan, di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan perekonomian tumbuh mencapai 5,04%. Untuk keseluruhan tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,02%, di bawah konsensus yang sebesar 5,035%. Pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 merupakan pertumbuhan ekonomi terlambat sejak tahun 2015 silam. Untuk diketahui, pada tahun 2018 BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Namun, sejak awal tahun 2019 perekonomian sudah terlihat lesu. Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan. Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan. Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan. Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan. Lantas, dari data hingga sembilan bulan pertama tahun 2019 sudah bisa disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2019 tak akan bisa menyamai capaian tahun 2018 yang mencapai 5,17%. Valuasi Sudah Murah? Guna mengkur murah-mahalnya valuasi dari sebuah saham atau indeks saham, ada sebuah rasio yang lazim digunakan yakni price-earnings ratio (PER). Untuk saham individu, PER dihitung dengan membagi harga saham di pasar sekunder dengan laba bersih per unit saham. Untuk indeks saham, PER dihitung dengan membagi nilai indeks saham dengan laba per saham dari seluruh saham yang membentuk indeks saham tersebut. Lazimnya, semakin tinggi PER, maka sebuah saham atau indeks saham bisa dikatakan semakin mahal. Sebaliknya, semakin rendah PER, maka sebuah saham atau indeks saham bisa dikatakan semakin murah. Untuk diketahui, murah-mahalnya sebuah saham atau indeks saham tak bisa hanya dinilai menggunakan PER. Simpelnya, belum tentu sebuah saham atau indeks saham yang memiliki PER tinggi bisa dikatakan mahal, begitu pula sebaliknya. Ada berbagai faktor lain yang harus diperhitungkan guna menganalisis murah-mahalnya sebuah saham atau indeks saham. Namun, memang sejauh ini PER merupakan rasio yang paling lazim digunakan untuk melakukan penilaian secara cepat. Tim Riset CNBC Indonesia merangkum PER dari indeks saham yang ada di kawasan Asia. Ternyata, PER dari IHSG terbilang rendah jika dibandingkan dengan indeks saham lainnya di kawasan Asia. Melansir data dari Refinitiv, PER dari IHSG berada di level 15,2x. Hanya ada tiga indeks saham di kawasan Asia yang memiliki PER lebih rendah dari IHSG, yakni Straits Times, Shanghai, dan Hang Seng. Mengingat PER dari IHSG masih rendah, apakah IHSG berpotensi mencetak apresiasi di masa depan, setidaknya di sepanjang sisa bulan Februari? Jika berkaca kepada sejarah, sejatinya bulan Februari bisa dikatakan sebagai bulan yang bersahabat bagi pelaku pasar saham Tanah Air. Dalam 10 tahun terakhir (2010-2019), IHSG hanya tiga kali membukukan imbal hasil negatif secara bulanan pada bulan Januari, yakni pada tahun 2010, 2018, dan 2019. Apresiasi terbaik IHSG pada bulan Februari terjadi pada tahun 2013. Per akhir Februari 2013, IHSG melejit hingga 7,68% jika dibandingkan dengan posisi per akhir Januari 2013. Jika dirata-rata, IHSG membukukan imbal hasil sebesar 1,94% secara bulanan pada bulan Februari. Namun, tren positif yang dimiliki IHSG di bulan Februari tak bisa serta-merta diartikan bahwa IHSG akan mencetak apresiasi di sisa bulan ini. Seperti yang bisa dilihat dari grafik di atas, di sepanjang Februari 2020 (hingga penutupan perdagangan hari Jumat) IHSG baru membukukan apresiasi sebesar 1%. Virus Corona Hingga Lemahnya Perekonomian Patut Diwaspadai Ada beberapa faktor yang berpotensi membebani langkah IHSG di sepanjang sisa bulan ini. Pertama, terus meluasnya infeksi virus Corona. Riset dari Standard & Poor's (S&P) menyebutkan bahwa virus Corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sekitar 1,2 persentase poin. Jadi, kalau pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini diperkirakan berada di level 6%, maka virus Corona akan memangkasnya menjadi 4,8% saja. Untuk diketahui, pada tahun 2019 perekonomian Negeri Panda tercatat tumbuh sebesar 6,1%, melambat signifikan dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990. "Pada tahun 2019, konsumsi menyumbang sekitar 3,5 persentase poin dari pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,1%. Dengan perkiraan konsumsi domestik turun 10%, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan berkurang sekitar 1,2 persentase poin," tulis riset S&P. Kalau ekonomi China melambat, maka laju perekonomian global dipastikan akan tertekan. Pasalnya, sejauh ini China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi. Kedua, masih berkubangnya Hong Kong di jurang resesi. Pada pekan kemarin, Hong Kong merilis pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal IV-2019. Sepanjang tiga bulan terakhir tahun 2019, perekonomian Hong Kong tercatat tumbuh negatif alias terkontraksi sebesar 0,4% secara kuartalan. Lantas, perekonomian Hong Kong masih berkubang di jurang resesi. Melansir Investopedia, resesi sendiri merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut. Pada kuartal II-2019, perekonomian Hong Kong tercatat terkontraksi sebesar 0,5% secara kuartalan, disusul oleh kontraksi sebesar 3,2% pada kuartal III-2019. Hong Kong sendiri merupakan investor kelas kakap bagi Indonesia. Pada tahun 2018, dana segar senilai US$ 2 miliar dibawa masuk ke Indonesia oleh investor asal Hong Kong, melansir data yang dipublikasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Nilai tersebut setara dengan 6,8% dari total realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) pada tahun 2018 yang mencapai US$ 29,3 miliar. Pada tahun 2019, realisasi investasi dari investor asal Hong Kong meningkat menjadi US$ 2,9 miliar. Secara persentasenya, kontribusi Hong Kong dari total realisasi PMA meningkat menjadi 10,2% pada tahun 2019, dari yang sebelumnya 6,8% pada tahun 2018. Jadi, ancaman bagi perekonomian Indonesia yang datang dari berkubangnya Hong Kong di jurang resesi tak bisa dipandang sebelah mata oleh pelaku pasar saham Tanah Air. Faktor ketiga yang berpotensi menekan kinerja pasar saham Indonesia di sisa bulan ini adalah rilis angka pertumbuhan ekonomi. Seperti yang sudah disebutkan di halaman pertama, perekonomian Indonesia pada tahun 2019 hanya mampu tumbuh sebesar 5,02%, menandai laju pertumbuhan ekonomi terlambat sejak tahun 2015 silam. Memasuki tahun 2020, perekonomian terlihat masih lesu. Sepanjang Januari 2020, BPS mencatat inflasi berada di level 0,39% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,68%. Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,46% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,85%. Sebagai catatan, dalam beberapa waktu terakhir inflasi Indonesia selalu berada di bawah ekspektasi. Untuk periode Desember 2019 misalnya, BPS mengumumkan terjadi inflasi sebesar 0,34% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan yang juga merupakan inflasi untuk keseluruhan tahun 2019 berada di level 2,72%. "Dengan inflasi Desember 2019 0,34% maka inflasi 2019 secara keseluruhan 2,72%," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS pada awal tahun ini. Capaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,51%, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,93%. Rilis angka inflasi yang kembali berada di bawah ekspektasi pada bulan Januari praktis menguatkan pandangan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia sedang berada di level yang rendah. Lantas, walaupun memiliki PER yang rendah dan catatan yang apik di bulan Februari, belum bisa dipastikan bahwa akan ada dorongan beli yang kuat yang akan mengerek kinerja IHSG di sisa bulan Februari. Sumber : cnbcindosesia.com PT. Equityworld Medan Equity world Medan Lowongan Kerja Terbaru 2019 Loker EWF Medan
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
July 2021
Categories |