PT Equityworld Futures Medan-Ada yang menarik dari laporan riset mingguan yang dikeluarkan oleh BlackRock Senin kemarin (5/4/2021). Dalam laporan tersebut perusahaan investasi dengan aset kelolaan terbesar di dunia tersebut menyoroti tiga tema investasi dan juga memberikan rekomendasi.
Firma investasi global dengan aset kelolaan mencapai US$ 8,7 triliun tersebut juga membahas topik yang sedang hangat di pasar. Apalagi kalau bukan kenaikan yield obligasi pemerintah AS. Menurut BlackRock kenaikan yield memanglah wajar di tengah adanya kenaikan inflasi dan prospek perekonomian yang lebih baik. Namun sebenarnya secara riil imbal hasil yang ditawarkan oleh surat utang pemerintah masih sangatlah rendah. Di sisi lain perusahaan investasi asal AS tersebut juga menekankan pernyataan The Fed yang menyebut pengetatan moneter lewat tapering dan kenaikan suku bunga acuan masih dinilai terlalu prematur. Tema kedua investasi yang dibahas BlackRock dalam laporan risetnya adalah soal fenomena globalisasi. Fokusnya siapa lagi kalau bukan AS dan China yang masih terus bersitegang. Di tengah ekspansifnya ekonomi Negeri Panda, return investasi di pasar China juga menggiurkan. Hal ini akan menarik investor untuk memutar uangnya ke sana. Di sisi lain ada juga risiko berinvestasi di China yaitu karena tingginya beban utang dan perseteruan dengan rival sekaligus mitranya yaitu AS. Menariknya menurut BlackRock risiko tersebut sepadan dengan imbal hasil yang ditawarkan oleh pasar China. Tema ketiga yang di-highlights perusahaan investasi itu adalah transformasi. Kata ini tentu saja sudah tidak asing lagi. Transformasi yang dimaksud di sini adalah Covid-19 berhasil menyadarkan banyak pihak untuk lebih sadar terhadap fenomena perubahan iklim dan ketimpangan sosial. Mempertimbangkan ketiga tema tersebut, BlackRock memberikan rating overweight untuk saham dan underweight untuk instrumen pendapatan tetap karena imbal hasil yang ditawarkan rendah sehingga kurang menarik. Sektor yang dipilih dan menjadi favorit BlackRock pun ada dua yaitu sektor teknologi dan kesehatan. Keduanya merupakan sektor yang diuntungkan di saat pandemi Covid-19 merebak. Mengingat portofolio BlackRock yang tersebar ke berbagai penjuru dunia, ada beberapa pasar saham yang diberi rating overweight olehnya. Beberapa di antaranya seperti Amerika Serikat, negara berkembang, Asia Ex-Jepang dan Inggris. Hanya Jepang yang mendapat rating underweight. Tren pelemahan greenback, laju vaksinasi yang agresif, sektor teknologi yang menarik hingga prospek pertumbuhan yang lebih tinggi tahun ini membuat Asia Ex-Japan dan negara berkembang menjadi primadona dan diperkirakan bakal menarik aliran modal dari investornya. Jika menggunakan kedua kategori yang disebutkan oleh BlackRock seharusnya Indonesia masuk karena masih dalam wilayah Asia dan negara berkembang. Hanya saja pasar keuangan domestik tengah didera dengan koreksi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Surat Berharga Negara (SBN) hingga nilai tukar rupiah semuanya mengalami koreksi. IHSG bahkan sudah keluar dari level psikologis 6.000. Yield SBN tenor 10 tahun naik ke atas 6,5% dan nilai tukar rupiah sudah menyentuh Rp 14.500/US$. Semua itu terjadi karena adanya capital outflow di pasar keuangan Tanah Air. Di pasar saham, tercatat ada aksi jual bersih asing senilai Rp 4,3 triliun di pasar reguler. Sementara itu berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, terjadi aliran modal keluar (capital outflow) dari pasar surat utang negara sebesar Rp 20 triliun Sumber : cnbcindonesia.com PT Equityworld Medan Equity world Medan Lowongan Kerja Terbaru 2020 Loker EWF Medan PT Equityworld Futures Medan-Emas mengalami nasib terburuknya dalam lebih dari 4 tahun terakhir di kuartal pertama. Harga si logam kuning itu di arena pasar spot melemah 10% sepanjang 3 bulan pertama tahun ini.
Memasuki awal kuartal kedua harga emas cenderung berada di level US$ 1.730/troy ons atau naik setelah ambles ke US$ 1.685/troy ons. Pada perdagangan ketiga bulan April ini harga emas cenderung stagnan. Senin (5/4/2021), harga emas di pasar spot dibanderol di US$ 1.728,65/troy ons atau tidak jauh berbeda dengan posisi penutupan akhir pekan lalu. Pekan ini sentimen terhadap emas cenderung terpecah. Analis Wall Street cenderung bullish sementara investor main street cenderung bearish. Hal ini terlihat dari hasil survei yang dilakukan oleh Kitco. Sebanyak 11 dari 15 analis Wall Street atau 73% dari responden yang disurvei memperkirakan harga emas bakal naik. Berbeda dengan Wall Street, investor main street malah bearish, karena mayoritas responden sebanyak 44% meramal harga emas bakal turun. Yield obligasi pemerintah AS dan greenback masih harus terus dipantau. Kombinasi keduanya bisa membuat pasar saham serta harga emas mengalami koreksi. Di sisi lain prospek perekonomian Paman Sam yang lebih cerah berpeluang menaikkan dolar AS. Sepekan lalu indeks yang mengukur posisi greenback terhadap enam mata uang lain tersebut mengalami kenaikan 0,28%. Kenaikan greenback juga disebabkan karena data ketenagakerjaan yang ciamik. Data Jumat menunjukkan angka penciptaan lapangan kerja AS non-pertanian melonjak 916.000. Ini merupakan kenaikan terbesar sejak Agustus lalu. Data untuk Februari direvisi naik dan menunjukkan 468.000 lapangan pekerjaan baru, bukan dari 379.000 yang dilaporkan sebelumnya. Data ketenagakerjaan yang apik menjadi sentimen positif untuk dolar AS. Tak hanya data ketenagakerjaan saja, rencana Presiden AS Joe Biden untuk membangun infrastruktur senilai US$ 2 triliun juga dinilai akan meningkatkan output perekonomian Paman Sam sebesar 0,5 sampai 1 poin persentase pada 2022. Kendati masih terkendala di level legislatif, tetapi outlook perekonomian yang lebih baik bisa mendorong penguatan dolar dan berakhir akan menekan emas yang memiliki korelasi negatif dengan greenback Sumber : cnbcindonesia.com PT Equityworld Medan Equity world Medan Lowongan Kerja Terbaru 2020 Loker EWF Medan PT Equityworld Futures Medan- Pasar keuangan global pada kuartal pertama tahun 2021 bisa dibilang menghadapi jalan yang naik-turun yang cukup terjal dan tentunya berliku-liku.
Momen terpilihnya presiden Amerika Serikat (AS) yang baru yakni Joe Biden, juga menjadi sentimen pasar. Belum lagi ditambah adanya fenomena margin call di bursa Wall Street AS ketika investor ritel 'amatiran' nekat menggunakan transaksi margin dan wajib menambah dananya. Kemudian, sentimen berikutnya harga minyak memanas, saham teknologi terkena aksi jual masif, dan tren bearish di pasar obligasi. Setahun setelah dilanda pandemi virus korona, dan kini negara-negara di dunia berlomba-lomba dalam hal vaksinasi yang sangat penting untuk mengembalikan ekonomi dunia ke kondisi normalnya. Baca: Harga Melesat 20% Lebih di Q1, Waspada Minyak Masih Rawan! Pada awal tahun, sentimen yang mewarnai ialah komoditas minyak yang harganya naik fantastis, di mana potensi cuannya mencapai sebesar 25%. Kemudian, saham-saham di dunia juga banyak yang meroket hingga ke level tertingginya seiring dengan mulai banyaknya negara yang menggelar vaksinasi massal termasuk Indonesia. Tentunya kondisi ini berbeda dengan tahun lalu ketika pasar saham ambles. Berikutnya ada tren pelemahan harga obligasi yang membuat kinerja terburuk di pasar obligasi pemerintah sejak "taper tantrum" 2013. Taper tantrum biasanya menjadi istilah yang merupakan kondisi gejolak pasar ketika bank sentral mulai mengetatkan kebijakan. Harga surat utang pemerintah AS (US Treasury) dan surat utang pemerintah Jerman (German Bond) ambles sekitar 6% hingga 6,5%. Pemegang obligasi pemerintah di negara-negara berkembang pun turun sebesar 7%. Yield dan harga obligasi bergerak berlawanan, ketika harga turun maka yield atau imbal hasil naik. Baca: Minat IPO, Raffi-Rudy Salim Suntik Cilegon FC Rp 300 M Lebih Harimau atau Macan? Kemenangan Demokrat di Senat AS pada Januari lalu membuka jalan bagi rencana stimulus US$ 1,9 triliun. Hal itu telah meningkatkan ekspektasi pasar terkait pertumbuhan ekonomi dan kenaikan inflasi, sehingga beberapa pelaku pasar khawatir akan bank sentral AS (Federal Reserve) yang mungkin sedang mencari dukungan untuk meredam kekhawatiran pelaku pasar tersebut. Ahli strategi dari BCA, Arthur Budaghyan mengibaratkan pasar saat ini seperti sedang menunggangi 'macan', di mana kemenangan Senat AS memaksa perubahan pandangan investor. "Mengendarai harimau itu menyenangkan, Satu-satunya halangan adalah tidak ada yang bisa melepaskan harimau tersebut." Kata Budaghyan, dikutip dari Reuters. Grafik Yield Treasury AS dengan Inflasi ASFoto: Refinitiv Datastream Grafik Yield Treasury AS dengan Inflasi AS Dari pasar mata uang, dolar AS telah membuat banyak perusahaan manajer investasi memproyeksikan akan jatuh dari posisi terbaiknya pada kuartal pertama sejak tahun 2015 dan di kuartal tertentu sejak tahun 2018. Harga minyak yang semakin 'memanas' membuat dolar Kanada dan kron Norwegia makin unggul. Sementara poundsterling Inggris juga naik berkat program vaksinasi yang cepat di Inggris. Namun hal itu membuat mata uang negara-negara berkembang semakin terpuruk. Real Brazil dan Lira Turki melanjutkan pelemahan pada akhir tahun lalu dengan melemah sebesar 10%. Hebatnya, lira sempat digadang-gadang menjadi mata uang terbaik di dunia selama enam pekan pertama di tahun 2021. "Ini semua tentang pemisahan antara AS dan seluruh dunia," kata Kepala Ekonom Axa Gilles Moec, menyoroti bahwa lebih dari 6%, AS akan tumbuh pada tingkat tercepat sejak 1984 tahun ini dan terntunya lebih cepat dari China untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir. Sementara minyak dan logam industri seperti tembaga telah kembali pulih dan melonjak, di tengah harapan pemulihan ekonomi global. Adapun komoditas emas telah turun sebesar 11%, menandai awal terburuk dalam setahun sejak 1982, meskipun sempat melonjak hampir 25% pada tahun 2020. Satu sentimen lagi bagi pasar keuangan, khususnya komoditas minyak pada Maret lalu ialah kejadian 'nyangkutnya' kapal raksasa milik Evergreen di Terusan Suez, Mesir. Macetnya kanal laut terpenting di dunia, Terusan Suez membuat beberapa tarif pengiriman naik berlipat ganda, dan permintaan mobil listrik (paladium dan platinum) naik 10% lebih tinggi pada tahun ini, tetapi harga gandum dan makanan utama lainnya melemah parah. Pasar saham Dari pasar saham, perselisihan antara investor ritel dengan perusahaan hedge fund terkait saham GameStop juga terjadi di awal tahun ini. Saham pengecer video-game tersebut melonjak sebanyak 2.700% pada bulan Januari, ketika jutaan investor ritel yang terdorong oleh 'cuitan' di salah satu media sosial, membuat Wall Street tertekan dalam jangka pendek. "Dibandingkan dengan kuartal pertama yang banyak cerita di pasar keuangan, seperti aksi Demokrat di menit-menit terakhir (pemilihan senat AS), stimulus AS 'jumbo' sebesar US$ 1,9 triliun, investor ritel mendominasi dan membuat bursa saham tertekan, dan bubble effect, mungkin di kuartal kedua tahun ini akan terlihat kurang dramatis." kata Cross-Asset Strategist JPMorgan, John Normand, di kutip dari Reuters Sumber : cnbcindonesia.com PT Equityworld Medan Equity world Medan Lowongan Kerja Terbaru 2020 Loker EWF Medan |
Archives
July 2021
Categories |