PT Equityworld Futures Medan- Ada 'mitos' yang sudah lama beredar di kalangan pelaku pasar bahwa selama bulan Ramadan perdagangan di bursa saham menjadi kurang semarak. Anggapan ini sudah sering terdengar setiap bulan puasa datang.
Tidak hanya para investor, para analis saham juga sering menyebut lesunya bursa saat bulan suci umat Muslim ini akibat "faktor musiman" atau monthly effect. Kendati, tidak dapat ditemukan penjelasan yang memadai soal kenapa hal tersebut bisa terjadi. Lantas, apakah 'mitos' bahwa bursa cenderung sepi saat Ramadan benar-benar terjadi dalam 5 tahun belakangan? Di bawah ini Tim Riset CNBC Indonesia menyajikan tabel rerata volume transaksi di bursa saham Tanah Air selama masa Ramadan dalam 5 tahun terakhir. Adapun rerata volume transaksi Ramadan akan dibandingkan secara bulanan dengan periode sebulan sebelumnya. Apabila menilik data di atas, dalam periode Ramadan dalam 5 tahun belakangan, memang tercatat rerata volume transaksi perdagangan di bursa cenderung loyo secara bulanan (MtM). Selama dua Ramadan terakhir, bursa memang lesu saat puasa, terlihat dari penurunan rerata volume perdagangan yang merosot. Adapun penurunan yang paling kentara, yakni pada Ramadan 2017, ketika rerata volume transaksi anjlok 20% dibandingkan perode sebulan sebelumnya. Tentu saja, data di atas yang sangat terbatas tidak bisa dijadikan bukti sahih bahwa bursa saham cenderung sepi--atau tidak sepi--setiap bulan puasa. Namun, data tersebut barangkali bisa dijadikan ilustrasi bahwa dalam 5 Ramadan terakhir, terjadi beberapa kali fenomena 'lemasnya otot-otot' bursa di kala bulan puasa. Menurut hemat Tim Riset CNBC Indonesia, mitos lesunya bursa saat puasa bisa jadi dipengaruhi juga oleh sejumlah faktor yang ada di setiap tahunnya. Ambil contoh, pada Ramadan tahun lalu, pandemi Covid-19 yang baru melanda dunia dan menghantam 'sendi-sendi' perekonomian masyarakat juga ikut mempengaruhi gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). IHSG sempat terjun bebas ke 4.194,94 pada 16 Maret 2020, untuk kemudian kembali menanjak mulai September tahun lalu. Angka tersebut ditopang oleh melesatnya indeks volatilitas (VIX) pada saat virus corona dinyatakan sebagai pandemi pada Maret 2020. Saat itu indeks VIX yang berada di bawahlevel 20, langsung meroket hingga ke atas 85. VIX sering dianggap sebagai indikator ketakutan (fear index). Pasalnya, ketika angkanya menurun artinya ketakutan pelaku pasar semakin berkurang. Sementara, ketika posisinya menanjak, itu mencerminkan ketakutan para investor dan mereka cenderung menghindari aset-aset berisiko. Adapun saat ini, pelaku pasar secara global kini semakin pede masuk ke pasar saham. Hal tersebut terindikasi dari penurunan indeks volatilitas (VIX) ke level terendah sebelum virus corona menyerang dunia. Melansir data Refinitiv, VIX sepanjang pekan lalu turun 3,7% ke 16,69, level tersebut merupakan yang terendah sejak pertengahan Februari lalu. VIX kini sudah kembali ke bawah 20, atau level sebelum Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi, Sehingga menjadi indikasi pelaku pasar sudah tidak takut akan Covid-19. Menariknya, kendati tahun lalu indeks begitu tertekan, investor ritel domestik malah menunjukkan tajinya. Menilik data BEI pada pertemuan dengan pimpinan media massa, 11 Februari lalu, terlihat adanya kenaikan animo investor ritel berinvestasi di bursa pada tahun lalu. Ini menunjukkan investor ritel tumbuh cukup signifikan di masa pandemi Covid-19. Hal tersebut terlihat dari rerata transaksi harian yang naik menjadi rata-rata sebesar Rp 20,5 triliun per Januari 2021. Data transaksi harian ini jika dilihat trennya dalam 5 tahun terakhir melaju cukup kencang. Dilihat dari komposisinya, data per Januari, sebesar 69,5% investor ritel domestik memberikan andil terbesar dalam rata-rata transaksi harian, bertambah dari tahun sebelumnya sebesar 48,4% dengan rerata transaksi Rp 9,2 triliun. Selanjutnya, 13% dari investor institusi domestik dan 17,5% dari institusi asing. Selain itu, bila dilihat dari komposisi kepemilikan, investor ritel domestik mengalami kenaikan dari tahun 2020 sebesar 13,1% menjadi 13,5% kepemilikan. Sedangkan, 38,3% dari investor institusi domestik dan 48,1% institusi asing. Hal ini berimbas pada kenaikan investor domestik pada 2020 sebanyak 3,88 juta dari tahun 2019 sebanyak 2,48 juta. Selanjutnya, dominasi investor ritel domestik juga terjadi atas frekuensi transaksi di BEI. Secara tahunan frekuensi rata-rata transaksi di 2020 meningkat 31,98% menjadi 619.000 kali transaksi dari 469.000 kali transaksi di 2019, capaian tertinggi sepanjang sejarah Pasar Modal Indonesia. Pada pertengahan bulan lalu, BEI mengumumkan jumlah investor saham mencapai rekor pencapaian baru pada awal tahun ini. Menurut data BEI yang dipublikasikan melalui Instagram, per Selasa (16/2), jumlah Single Investor Identification (SID) saham mencapai 2.001.288. Angka ini tumbuh 18,05% dibandingkan jumlah investor saham pada akhir tahun lalu. Di kesempatan yang berbeda, pada awal tahun ini, Direktur Utama BEI Inarno Djajadi menyampaikan bahwa investor baru pada 2020 secara signifikan didominasi oleh kaum milenial dengan rentang usia 18-30 tahun yang mencapai 411.480 SID atau 70% dari total investor baru tahun 2020. Sejumlah analis memprediksi bursa akan lesu selama bulan puasa tahun ini. Dilansir CNBC Indonesia, analis Binaartha Sekuritas, M. Nafan Aji Gusta Utama menuturkan, pelemahan IHSG akhir-akhir ini, salah satunya disebabkan oleh penurunan transaksi di bursa menjelang Ramadan. Pengamat pasar modal dari MNC Asset Managemen Edwin Sebayang juga sepakat, sepinya perdagangan di bursa akan berlangsung selama bulan Ramadan hingga lebaran di bulan Mei. Setali tiga uang, Mirae Asset Sekuritas Indonesia juga memproyeksikan nilai transaksi di bursa saham domestik sepanjang April ini masih akan cenderung terkonsolidasi. Hal tersebut, imbas dari kondisi makroekonomi domestik yang belum bertenaga dan momentum Ramadan. Investment Information Head Mirae Asset Sekuritas, Roger M.M. memprediksi nilai transaksi bursa saham akan terpangkas menjadi kisaran Rp 9 triliun per hari, turun dari rerata Januari, Februari, serta Maret yang masing-masingnya Rp 20 triliun, Rp 15 triliun, dan Rp 10 triliun per hari. Dia juga memprediksi, IHSG akan terkonsolidasi downtrend sebagai support (batas bawah) 5.892-5.735 serta resisten (batas atas) 6.195-6.281. Memang, IHSG sedang letoy akhir-akhir ini. Dalam sebulan terakhir IHSG sudah amblas 5,94%. Bahkan, kemarin, Senin (12/4), IHSG ambruk parah 2,00% ke 5.948,56. Tercatat dalam 5 pekan terakhir, IHSG hanya mampu menguat satu pekan. Bahkan IHSG sudah terkoreksi parah dari level 6.350 hingga saat ini ambruk ke bawah 5.950 atau koreksi sebesar 400 indeks poin. Menariknya selain IHSG yang terus terkoreksi, nilai transaksi di bursa lokal juga terus menyusut hingga ke rata-rata Rp 8-9 triliun per hari. Angka ini tentu saja jauh di bawah rata-rata perdagangan Januari 2020 ataupun pada kuartal ketiga tahun 2020 dimana dalam sehari IHSG bisa mencatatkan transaksi mencapai Rp 25 triliun. Pada periode tersebut memang IHSG sedang gencar-gencarnya naik sehingga investor ritel sangat aktif bertransaksi di bursa. Tercatat pada bulan 10,11, dan 12 IHSG mencatatkan apresiasi masing-masing 5,30%, 9,44%, dan 6,53% yang berhasil melesatkan IHSG dari level 5.238 ke angka 5.979. Sejak saat itu nilai transaksi IHSG tak lagi sama, secara perlahan nilai transaksi saham menyusut hingga ke level saat ini dimana IHSG ditransaksikan tidak lebih dari Rp 10 triliun per hari. Tampaknya, para pelaku pasar masih wait and see alias menunggu momen yang tepat untuk kembali masuk ke pasar, salah satunya soal laporan keuangan sejumlah emiten dan sejumlah aksi korporasi para emiten. Jadi, 'mitos' lesunya bursa saat Ramadan mungkin saja bisa terjadi di kala bulan puasa datang, tetapi bisa juga tidak, karena ada sejumlah faktor dan sentimen lainnya yang ikut memengaruhi Sumber : cnbcindonesia.com PT Equityworld Medan Equity world Medan Lowongan Kerja Terbaru 2020 Loker EWF Medan
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
July 2021
Categories |